Axelerasi.id Bandar Lampung – Pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, soal belum dilakukannya pengukuran ulang terhadap lahan HGU PT Sugar Group Companies (SGC) di Lampung menuai kritik tajam dari pemerhati masalah sosial.
Deky Kurniawan, aktivis sekaligus pemerhati sosial di Lampung, menyebut pernyataan Nusron sebagai bentuk kegagalan memahami tugas negara dalam menjaga kedaulatan atas tanah.
“Pernyataan Menteri Nusron adalah bentuk kegagalan memahami mandat konstitusi. Negara seolah kehilangan akal saat berhadapan dengan korporasi besar, tapi garang ke masyarakat adat dan petani. Ini logika kolonial yang dibungkus dalam administrasi birokrasi,” kata Deky, Rabu (30/7/2025).
Sebelumnya, Menteri Nusron menyatakan bahwa pengukuran ulang lahan HGU milik PT SGC belum bisa dilakukan karena tidak ada pemohon resmi dan tidak tersedia anggaran dari negara.
Ia menilai penggunaan APBN untuk membiayai pengukuran ulang lahan korporasi merupakan preseden buruk dan tidak sesuai dengan mekanisme Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Namun, menurut Deky, logika ini sangat keliru.
Ia menegaskan bahwa pengukuran ulang dalam konteks dugaan pelanggaran batas HGU bukanlah pelayanan administrasi biasa, melainkan bagian dari fungsi pengawasan dan penegakan hukum negara.
Dengan demikian, negara memiliki kewajiban hukum dan moral untuk bertindak, tanpa harus menunggu permohonan atau pembiayaan dari pihak ketiga.
“Pengukuran ulang atas dugaan pelanggaran bukan layanan permohonan, tapi penegakan hukum. Itu wajib dibiayai APBN. Kalau negara menunggu perusahaan membayar, bagaimana mungkin negara bisa mengawasi perusahaan itu?” kritik Deky.
Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa kerangka hukum di Indonesia sangat jelas. Konstitusi melalui UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) menyatakan bahwa bumi dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat.
UUPA No. 5 Tahun 1960 dan PP No. 18 Tahun 2021 memberi kewenangan pada negara untuk membatalkan penguasaan tanah yang melebihi hak. Bahkan Permen ATR/BPN No. 11 Tahun 2016 memungkinkan BPN bertindak atas temuan langsung tanpa menunggu permohonan.
“Jadi pertanyaannya, negara ini tunduk pada hukum atau tunduk pada korporasi?” kata Deky.
Ia juga mengingatkan bahwa jika negara terus pasif, maka akan terbentuk preseden impunitas bagi korporasi, dan pelanggaran hukum agraria akan terus dibiarkan tanpa penyelesaian.
Hal ini akan semakin merugikan masyarakat adat, petani kecil, dan negara secara keseluruhan.
“Kalau negara diam, artinya negara membiarkan pencurian tanah terus terjadi. Ini bukan sekadar soal prosedur, ini soal keberanian politik,” ucapnya.
Deky mendesak ATR/BPN segera bertindak dengan melakukan pengukuran ulang melalui jalur pengawasan internal. Apalagi, laporan resmi telah disampaikan oleh DPR dan berbagai elemen masyarakat.
Bila ditemukan pelanggaran, maka proses pencabutan hak, penertiban, hingga proses pidana harus dijalankan secara tegas.
“Kalau benar PT SGC kuasai lahan lebih dari HGU, maka itu pelanggaran hukum. Bukan saja haknya bisa dicabut, tapi harus ada sanksi tegas. Ini bentuk tanggung jawab negara kepada rakyat,” katanya.
Ia juga menekankan bahwa saat ini merupakan momentum yang tepat bagi ATR/BPN dan Pemprov Lampung untuk menyelesaikan konflik agraria yang telah berlangsung lama di provinsi ini.
Jangan sampai negara hanya tampil sebagai fasilitator bagi korporasi, sementara rakyat terus dikorbankan oleh konflik yang tak kunjung selesai.
“Kita tidak butuh negara yang ragu-ragu. Kita butuh negara yang berani menegakkan hukum, meskipun itu harus berhadapan dengan korporasi besar. Karena kalau negara tunduk, rakyat akan terus jadi korban,” pungkas Deky.