Axelerasi.id – Polemik soal keberadaan dan pengelolaan lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik PT Sugar Group Companies (SGC) kembali mencuat dan menjadi sorotan publik. Tak hanya di tingkat daerah, isu ini bahkan kini ramai diperbincangkan di kalangan elit nasional.
Namun bagi Fery Rudi Yansirona, pemerhati politik sekaligus mantan anggota DPRD Kabupaten Tulang Bawang, munculnya isu ini justru menimbulkan tanda tanya besar.
Fery mengaku heran, isu yang sempat lama “tenggelam” di masyarakat kini mendadak kembali menghangat dan menjadi konsumsi politik tingkat pusat. Padahal, menurutnya, upaya mendorong pengawasan terhadap SGC bukan hal baru.
Pada tahun 2007-2008 silam dia sudah mengikuti demo bersama beberapa kepala kampung di Istana Negara soal isu SGC, kemudian saat masih menjabat sebagai anggota DPRD Tulang Bawang pada 2017 silam, Fery juga mengaku pernah terlibat langsung dalam Panitia Khusus (Pansus) terkait SGC.
“Jadi ini bukan isu baru beberapa upaya telah kami tempuh, sejak 2007 saya bersama sejumlah kepala kampung ke DPR RI, ke Senayan, untuk menyampaikan aspirasi dari tiga kecamatan Menggala, Gedung Meneng, dan Dente Teladas soal dugaan penguasaan lahan yang merugikan masyarakat. Lalu pada saat jadi anggota DPRD saya pernah menjadi anggota Pansus SGC. Tapi tidak ada respon antusia dari pemerintah pusat,” ujarnya saat dimintai keterangan, Rabu (23/7/2025).
Tak hanya itu, lanjut Fery, pada tahun 2019 sempat terjadi demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa mengatasnamakan ‘Simpul’ yang mengangkat isu serupa.
Namun lagi-lagi, gerakan tersebut tak mendapat perhatian yang memadai, baik dari pusat maupun pemerintah daerah.
“Lucunya, sekarang tiba-tiba ramai. Tahun 2025 ini, isu SGC justru mencuat dan mengalir dari atas ke bawah, bukan dari bawah seperti sebelumnya. Saya jadi bertanya, ada apa sebenarnya? Apakah ini murni keresahan masyarakat atau ada manuver elit di baliknya?” tegasnya.
Menanti Penjelasan Kongkret Pemerintah
Fery menekankan pentingnya transparansi pemerintah dalam menyikapi isu ini. Menurutnya, langkah audit atau ukur ulang lahan SGC harus didasarkan pada urgensi dan kepentingan publik yang nyata, bukan sekadar kepentingan politik.
“Sekarang saya lihat ada pihak-pihak yang mendorong kuat dilakukan pengukuran ulang terhadap lahan HGU SGC, ada juga yang takut ini memicu instabilitas. Tapi kita belum melihat ada penjelasan kongkret dari pemerintah: kenapa ini dibuka sekarang?” ungkapnya.
Fery juga menyinggung kondisi di wilayah Lampung saat ini. Ia menyebut, Pemerintah daerah justru saat ini masih menanti masuknya investor untuk menggerakkan ekonomi lokal, bukan malah dihantui ketidakpastian akibat konflik agraria.
“Kalau sekarang pemerintah pusat atau pihak tertentu membawa isu ini ke atas, saya khawatir masyarakat lokal jadi korban lagi. Dulu kami bergerak dari bawah karena masyarakat merasa lahannya dirampas. Tapi sekarang, masyarakat malah tidak banyak bersuara. Jadi arahnya ke mana?” ujar Fery.
SGC Bukan Satu-satunya Perusahaan Bermasalah
Lebih lanjut, Fery mengingatkan bahwa SGC bukan satu-satunya perusahaan di Lampung yang pernah atau sedang terlibat konflik agraria.
Menurutnya, jika pemerintah serius menata ulang struktur penguasaan lahan, semestinya audit dilakukan menyeluruh, bukan hanya kepada satu entitas.
“Kalau mau audit, jangan tebang pilih. Banyak perusahaan di Lampung yang juga punya masalah lahan. Apakah semuanya akan diaudit juga? Kalau tidak, ya patut kita curigai ada agenda lain,” katanya.
Fery menutup dengan harapan agar polemik ini tidak dijadikan komoditas politik semata, tetapi benar-benar berpijak pada kebutuhan masyarakat dan kepastian hukum.
“Saya bukan membela siapa-siapa, tapi kita perlu kejelasan. Jangan sampai konflik yang dulu tidak pernah ditanggapi, kini muncul lagi hanya karena ada kepentingan tertentu. Pemerintah harus bicara jujur dan terbuka soal ini,” pungkasnya.