Langkah ini dinilai strategis karena penyedia layanan telekomunikasi yang memanfaatkan infrastruktur fiber optik memiliki kewajiban membayar pajak dan retribusi, mulai dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), hingga retribusi pemakaian ruang publik seperti trotoar dan saluran bawah tanah.
Anggota Komisi III DPRD Lampung, Munir Abdul Haris, menegaskan bahwa optimalisasi pajak dari sektor ini berpotensi besar meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
“Penggalian potensi pajak ini sudah saya usulkan kepada Pemprov Lampung setelah berdiskusi dengan Kadin Jakarta. Ternyata potensinya cukup besar untuk PAD kita,” ujar Munir, Senin (25/8).
Namun, ia menekankan pentingnya pemetaan terlebih dahulu sebelum retribusi diberlakukan. Hal ini bukan hanya soal penerimaan pajak, tapi juga menyangkut ketertiban dan keamanan infrastruktur.
“Sehingga ketika ada perbaikan infrastruktur, bisa menghindari kerusakan yang tidak disengaja saat perbaikan jalan dan irigasi. Mereka jangan hanya dipajaki, tapi juga dipikirkan lokasi, kenyamanan, dan keamanannya,” tegasnya.
Dari hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda), Munir menyebut potensi PAD dari retribusi fiber optik bisa menembus angka Rp5 miliar.
Sementara itu, Kepala Dinas Bina Marga dan Bina Konstruksi (BMBK) Lampung, Taufiqullah, mengatakan pihaknya sudah memanggil lebih dari 15 perusahaan telekomunikasi untuk memperbarui data.
“Data di BMBK itu hanya izin mereka. Tapi apakah setelah dapat izin mereka benar-benar menanam kabelnya atau tidak, kita belum tahu. Jadi kami sudah panggil untuk update lagi datanya,” jelas Taufiqullah.
Menurutnya, tim dari bidang pendapatan juga sedang menelusuri potensi keuangan dari penggunaan jaringan fiber optik. Hal ini diharapkan dapat menjadi tambahan signifikan bagi kas daerah sekaligus memastikan tata kelola infrastruktur lebih tertib.